Selasa, 25 Agustus 2015

On 17.49 by Unknown in     1 comment




Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yg mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).


Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.

Konservasi adalah upaya pelestarian lingkungan, tetapi tetap memperhatikan, manfaat yang dapat di peroleh pada saat itu dengan tetap mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatan, masa depan.

Menurut UU No. 4 Thn 1982, konservasi sumber daya alam adalah pengelolah sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan bagi sumber daya terbarui menjamin kesinambungan untuk persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman.


Ada 3 hal utama yang ada dalam konservasi berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 yaitu: 1) Perlindungan proses-proses ekologis yang penting atau pokok dalam sistem-sistem penyangga kehidupan, 2) Pengawetan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah,3) Pemanfaatan sumberdaya alam hayati secara lestari beserta ekosistemnya.
Perlindungan proses-proses ekologis yang penting atau pokok dalam sistem-sistem penyangga kehidupan

Di dalam lingkungan pasti terjadi yang dinamakan proses ekologis. Proses ekologis adalah peristiwa saling mempengaruhi antara segenap unsur pembentuk lingkungan hidup (Dewobroto, 1995). Di dalam ekosistem yang rusak dan teregradasi diperlukan sesegera mungkin upaya pemulihan spesies maupun komunitas yang pernah menghuni ekosistem tersebut. Pemulihan ekosistem yang rusak berpotensi besar untuk memperkuat sisem kawasan konservasi yang ada selama ini. Pemulihan ekologi (ecological restoration) merupakan praktik perbaikan yang dapat didefinisikan sebagai proses yang secara sengaja mengubah suatu lokasi untuk membentuk kembali suatu ekosistem tertentu yang bersifat asli dan bernilai sejarah (Indrawan, 2007).

Keberadaan biota dan abiota dalam ekosistem semuanya dipelajari dalam ekologi (Soerjani, 2009). Kesejahteraan manusia dikaitkan dengan kesejahteraan makhluk hidup lain, karena keberadaan bersama semua jenis makhluk hidup dalam ekosistem akan saling mempengaruhi satu terhadap yang lain. Jadi fungsi, tugas dan tanggung jawab asasi manusia adalah sebagai Kholifah di bumi yang dibebani dgn kewajiban dalam mengembangkan sikap dan perilakunya bagi kelangsungan peri kehidupan menuju peningkatan kesejahteraan anusia dan makhluk hidup lainnya(Soerjani, 2009).

Proses ekologi dihrapkan dapat berlangsung sinambung beserta sistem penyangga kehidupan lainnya, meskipun kawasan tersebut didayagunakan. Agar harapan ideal itu bisa terwujud maka diperlukan berbagai informasi ilmiah tentang informasi ilmiah yang akurat, baik tentang proses-proses ekologi di kawasan hutan, sungai, laut, pesisir, maupun kawasan yang telah dibudidayakan (Supriyatna, 2008).

Pengawetan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah

Perlindungan terhadap keaneragaman hayati adalah pusat dari biologi konservasi tetapi frase “keanekaragaman hayati” (atau secara singkat biodifersitas) dapat mempunyai arti yang berbeda. World Wildlife Fund mendefisikannya sebagai “jutaan tumbuhan hewan dan mikroorganisme termasuk gen yang mereka miliki, serta ekosistem rumit yang mereka bantu menjadi lingkungan hidup” (Indrawan, 2007). Keaneragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkat (Indrawan, 2007):

Keanekaragaman spesies.

Semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dan kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan, yang bersel banyak atau “multiseluler”).

Keanekaragaman genetik.

Variasi genetik dalam satu spesies, baik di antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individu-individudalam satu populasi.

Keanekaragaman komunitas.

Komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (“ekosistem”) masing-masing.

Sedangkan Wilson membagi keanekaragaman ini ke dalam 3 jenis yaitu (Supriyatna, 2008):

Keanekaragaman ekosistem

Secara definitif ekosistem diartikan sebagai satuan sistem kehidupan yang tersusun dari (dan merupakan) interaksi antara komponen hayati (tumbuhan, hewan dan mikroba) dan komponen fisik nir-hayati (iklim, tanah, air, cahaya, suhu dan ketinggian di atas laut). Tidak kurang dari 47 tipe ekosistem yang berbeda, baik yang alami maupun yang buatan yang terdapat di Indonesia mulai dari tipe ekosistem gunung es dan padang rumput alpine di wilayah pegunungan Irian Jaya, ekosistem hutan, ekosistem lautan dan masih banyak lagi.

Keanekaragaman jenis

Dalam hal keanekaragaman jenis mencakup kekayaan hayati tumbuhan, hewan dan mikroba. Di Indonesia yang merupakan megabiodeversity memiliki keanekaragaman jenis yang luar bisaa jumlahnya. Secara alami, berbagai jenis tumbuhan seperti anggrek, puspa jambu air, matoa, dan pisang memiliki individu-individu spesies dengan sifat yang sangat beragam. Keanekaragaman pada tanaman budi daya juga terlihat sangat beragam. Kisaran keanekaragaman dalam tanaman jenis budi daya dan kerabat liarnya itu merupakan bahan mentah perakitan bibit unggul, yang dikenal sebagai plasma nutfah.

Keanekaragaman di dalam jenis (keanekaragaman genetik)

Pada tingkat keanekaragaman di dalam jenis, penyusutan juga terjadi walaupun sulit untuk diamati pada populasi alami. Tetapi pada jenis-jenis budi daya, berkurangnya keanekaragaman di tingkat ini relative jelas terlihat. Pemakaian bibit unggul secara besar-besaran menyebabkan terdesaknya dan mulai menghilangnya bibit tradisional yang secara turun temurun telah dikembangkan oleh petani lokal.

Dalam keanekaragaman hayati ini dikenal yang namanya plasma nutfah. Plasma nutfah adalah bahan sumber yang mengatur kebakaan turun temurun yang diteruskan dari tetua kepada keturunannya melalui gamet yang merupakan substansi yang terdapat dalam setiap kelompok makhluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit atau untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar baru; termasuk dalam kelompok ini adalah kultivar masa kini atau lampau kultivar primitive, henis yag sudah dimanfaatkan tetapi belum dibudidayakan dan jenis liar, kerabat jenis budi daya atau jenis piaraan (Rivai, 1997). Dalam kamus konservasi sumber daya alam plasma nutfah (germ plasm) diartikan sebagai: (1) sumber daya genetik, (2) bahan (bakalan) di dalam setiap kelompok makhluk hidup yang merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dalam rangka menemukan varietas unggul yang baru (Dewobroto, 1995). Plasma Nutfah merupakan substansi yang mengatur perilaku kehidupan secara turun termurun, sehingga populasinya mempunyai sifat yang membedakan dari populasi yang lainnya. Perbedaan yang terjadi itu dapat dinyatakan, misalnya dalam ketahanan terhadap penyakit, bentuk fisik, daya adaptasi terhadap lingkungannya dan sebagainya.

Beberapa Undang-undang dan peraturan lain yang mengatur tentang kekayaan alam yang kaya dengan keanekaragaman hayati, yaitu: a) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, b) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1986, c) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, d) Peraturan pemerintah No. 64 Tahun 1957, e) Peraturan pemerintah No. 22 Tahun 1967, f) Peraturan pemerintah No. 21 Tahun 1970, g) Peraturan pemerintah No. Tahun 1970.

Strategi konservasi keanekaragaman hayati dapat dilakukan dengan pendekatan pemanfaatan, penelitian dan juga perlindungan. Perlindungan yang saling berkaitan yang juga tidak meninggalkan aspek manfaat dan penelitian didorong agar pemanfaatan dapat lestari dan berlanjut. Perlindungan dapat dijabarkan sebagai usaha pengelolaan, legislasi, perjanjian internasional, dan sebagainya. Dalam pemanfaatan sering direncanakan untuk program-program manfaat bagi masyarakat, berbagai komoditi perdagangan, wisata dan jasa ekowisata. Sedangkan pada penelitian meliputi penelitian dasar pada keragaman spesies, genetic, ekosistem, dan juga perilaku dan ekologi. Dengan strategi ini diharapkan akan bias terwujud pemanfaatan berkelanjutan dengan pertanian organik, terwujud konsensi konservasi, dan kolaborasi dengan berbagai pihak.

Pemanfaatan sumberdaya alam hayati secara lestari beserta ekosistemnya

Ada tiga aspek dalam sebuah pengelolaan sumber daya alam, yaitu eksplorasi, eksploitasi, dankonservasi. Untuk menciptakan sistem pengelolaan Sumber daya hayati yang partisipatif dan berbasis masyarakat maka ada beberapa komponen yang seyogyanya dapat dijadikan target pelaksanaan, yaitu:

Pola penguasaan sumber daya hayati (resource tenure)
Peningkatan kemampuan (capacity building)
Pelestarian lingkungan (environment conservation)

Pengembangan usaha berkelanjutan(sustainable livelihood development)

Krisis lingkungan yang sekarang kita rasakan akibatnya adalah karena kehidupan manusia sudah melebihi daya dukung lingkungan tempat kita hidup. Prinsip keberlanjutan ini meliputi: konservasi (conservation), pendaurulangan (recycling), penggunaan sumber daya yang dapat dibarukan (renewable resource use), pengendalian populasi (population control) dan restorasi (restoration). Prinsip keberlanjutan ini sebenarnya dapat kita pelajari dari alam secara langsung yaitu pada ekosistem alam.

Menurut Grumble, pengelolaan kawasan ekosistem dilakukan dengan memadukan berbagai pengetahuan ilmiah tentang proses-proses ekologi dalam kerangka sosial politik dan nilai-nilai yang kompleks dengan tujuan untuk melindungi integritas ekosistem lokal dan sinambung dalam jangka panjang. Grumble secara lebih jauh juga mengientifikasi 10 tugas dominan dalam pengelolaan ekosistem, yakni 1) Jenjang sistem keanekaragaman, 2) Pengetahuan batas ekologi, 3) Integritas ekologi, 4) Sistematika riset dan koleksi data, 5) Monitoring, 6) Manajemen adaptif, 7) Kerja sama antar sector, 8) Perubahan organisasi, 9) Manusia sebagai komponen ekosistem, dan 10) Nilai manusia dalam mencapai tujuan (Supriatna, 2008).

1 komentar :